Langsung ke konten utama

Postingan

obat hectic

 Setelah semua keriuhan pindahan kemarin, ada penghiburan yang datang bertubi-tubi untuk kami, sekeluarga. Tuan rumah yang teramat sangat baik, ramah, hangat, yang menyediakan game 24jam tuk anak-anak; berjumpa dengan beberapa kawan-kawan lama di acara syukuran kawan yang barusaja mendapatkan pekerjaan di kota Praha, dan undangan makan siang di rumah Tante Vero. Mereka semua menyuguhkan makanan-makanan yang lezat yang tak sekadar mengisi perut kami yang kelaparan tapi juga menghangatkan hati kami.  Makanan, dimanapun itu, selalu berhasil menyatukan pribadi-pribadi yang berbeda, selama perut terisi penuh, hati akan pula terisi penuh. Tante Vero, perempuan baik hati yang kami kunjungi hari ini, adalah seorang Indonesia yang menikah dengan pria warga negara belanda. Sejak 2014 ia bersama suaminya membuka usaha warung makan di Wageningen. Radjawali nama warungnya.
Postingan terbaru

hectic

  Hectic... apa ya bahasa Indonesianya dari hectic ini? sibuk? padat? Tapi begitulah yang kami rasakan hari ini. Ini hari terakhir kami menempati rumah yang selama 4 tahun menaungi malam-malam kami. Menghangatkan di kala dingin, meski tetap panas di kala musim panas 😆 Rumah yang kami tinggalkan sekarang, menjadi saksi perjalanan kami selama tinggal di Belanda. Kami menerima banyak teman berkunjung di tempat ini, dan rasanya rumah ini menjadi lebih hidup dengan kehadiran teman-teman tersebut. Hari ini kami meninggalkannya, meski belum meninggalkan Belanda. Karena kami mengakhiri kontrak sewa rumah hari ini, di akhir bulan, karena itulah mau tidak mau, dengan berat hati, kami meninggalkan rumah ini. Dua minggu waktu yang tersisa, kami menumpang di rumah teman-teman baik. Rasa yang kami miliki sekarang, saat kami pergi ini, berbeda dengan rasa yang kami miliki beberapa hari sebelumnya, saat kamii mulai bebenah dan menyiapkan baju-baju untuk dikemas. Saat itu, terkadang kami bergera

Juli - kepanikan mencari sekolah (2)

  Setelah melewati beragam drama, akhirnya kami memutuskan untuk mendaftarkan huda di sebuah sekolah swasta di jogja. Sebuah sekolah yang dalam pandangan kami, mendekati sekolah anak-anak di Belanda. Beberapa teman memang menyarankan kami untuk mendaftarkan anak-anak ke sekolah swasta alih-alih sekolah negeri. Kenapa swasta? Saya yang selalu duduk di bangku sekolah negeri terbaik di tiap jenjang sekolah, sebenarnya sulit untuk memandang buruk sebuah sekolah negeri. Tak ada yang buruk pada citra sekolah negeri selama saya bersekolah. Deretan piala berjejer rapi di ruang tamu kepala sekolah, guru-gurunya dipuji sebagai guru-guru yang bagus, nilai akhir siswa di ujian akhir selalu di rangking tinggi kabupaten, lulusan-lulusannya sebagian besar melanjutkan ke jenjang sekolah selanjutnya di sekolah negeri yang bagus pula. Apalagi biaya sekolah negeri amat sangat terjangkau kala itu. Tapi saya tak menutup mata, sekolah swasta yang di jaman saya kecil dulu seolah-olah merupakan sekolah tuk

Juli - kepanikan mencari sekolah

  Juli, akan selalu mengingatkan saya pada masa-masa liburan sekolah. Dan mulai tahun ini, dan beberapa tahun mendatang, secara berkala, akan menjadi bulan-bulan yang disibukkan dengan kegiatan mencari - mendaftar sekolah untuk anak-anak. Tahun-tahun sebelum ini, setidaknya selama enam tahun ini, bulan Juli menjadi bulan yang paling menyenangkan. Karena di bulan inilah anak-anak memulai libur musim panasnya, sehingga perasaan yang muncul hanyalah senang, senang, dan senaaaang🤣. Nonton film (hampir) setiap hari, naik kereta api berkunjung ke museum, menikmati keramaian kota, menginap di rumah teman, barbeque, atau sekadar berjalan-jalan atau sepedaan menikmati sore di Wageningen dan yang paling menyenangkan adalah tak perlu bangun pagi-pagi 🤣, selama enam minggu. Tapi mulai tahun ini, bulan Juli akan memiliki kisah yang lain, bagi kami sekeluarga. Dan Juli tahun ini adalah Juli peralihan. Sebuah peralihan dari dua budaya pendidikan. Kami akan meninggalkan Belanda sebentar lagi. Bu

Masjid Termegah di Eropa

  Jikalau sebelumnya kami mengunjungi Gereja yang memiliki menara tertinggi di Eropa, maka selanjutnya, di hari yang sama, kami mengunjungi Masjid termegah dan terbesar di Eropa, yang juga terletak di kota Koln. Masjid ini baru saja diresmikan tahun 2018 oleh Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki (siapa yang tak kenal sosok ini?), empat tahun lalu. Kenapa beliau yang meresmikan? karena masjid ini "dibesarkan" (diramaikan, disemarakkan, dihidupkan) oleh komunitas orang-orang Turki muslim yang tinggal di kota Koln. Dalam pidatonya saat itu, Erdogan menyampaikan rasa terimakasihnya kepada pemerintah Jerman dan pemerintah Kota Koln pada khususnya yang tetap bersikukuh memberikan izin pembangunan masjid tersebut, padahal saat masjid dibangun selama beberapa tahun terdengar suara-suara protes yang menunjukkan keberatan terhadap pembangunannya. Erdogan juga menyatakan, pembangunan masjid ini merupakan langkah besar menuju hidup yang penuh perdamaian. Zentralmoschee Koln atau Cologne

Gembok Cinta, Koln

Pernah dengar gembok cinta yang terpasang di jembatan? Mitosnya, jikalau pasangan saling kasih memahatkan namanya digembok dan memasangnya di jembatan lalu membuang kuncinya di sungai, maka pasangan tersebut akan menjadi pasangan langgeng, awet selamanya. Banyak yang percaya dan kemudian melakukannya, meski banyak juga yang melakukannya sekadar untuk bersenang-senang. Mitos ini diawali di jembatan Hohenzollern di tahun 2008, entah siapa yang memulai. Ada banyak sekali gembok yang terpasang di jembatan ini, berbagai warna, beragam bentuk, penuh. Barangkali karena penuh, kami tak melihat pasangan yang sedang sibuk memasang gembok ketika kami mengunjungi jembatan tersebut, tak ada tempat lagi sepertinya. Atau bisa juga karena alasan lain, seiring dengan kepedulian orang terhadap lingkungan. Gembok-gembok tersebut menambah beban yang harus ditanggung oleh jembatan selain juga kunci-kunci besi yang rawan korosi tersebut dengan sengaja dibuang ke dalam sungai, tentu saja akan membuat sunga

Mengunjungi Gereja Tua di Koln

Koln menjadi kota tujuan kami. Kota besar keempat di Jerman yang terletak tak begitu jauh dari perbatasan Belanda, sehingga bisa terjangkau dalam sehari perjalanan pulang pergi. Karena itulah kami berangkat pagi-pagi. Pukul 06.44 kami sudah tiba di halte Bis Hoevestein, menanti bis C3 yang akan mengantarkan kami ke stasiun terdekat, stasiun Ede - Wageningen. Begitu tiba di stasiun, kami segera menuju peron 3, naik kereta ke arah Arnhem. Dari kota Arnhem inilah kami kemudian menaiki kereta Abelio menuju Jerman. Kereta sudah hampir terisi penuh saat kami naik, beruntung kami mendapati tempat kosong dengan kursi lipat yang berisi barang-barang milik penumpang di kursi sebelah. Tampaknya mereka sekelompok anggota pramuka, tampak dari jaket cokelat muda yang mereka kenakan. Segera, setelah kami mendekat dan melihat kami membawa bayi, mereka mengambil barang-barang mereka dan meletakkannya di tempat tas, di atas kepala mereka. Kereta penuh sesak dengan segera, sepertinya banyak warga ne