Langsung ke konten utama

Mag Niet..

 24 mei 2016, ini bulan keduanya Althaf duduk di grup satu sekolah dasar. Sekolah dasar di sini (belanda) memang di mulai dari kelas/grup satu di usia 4 tahun, usia wajib sekolah di Belanda.

Cultureshock tentu saja, perbedaan bahasa jelas dialaminya. Terbiasa berbahasa indonesia dan terkadang jawa ketika di rumah membuatnya (sepertinya) memilih hanya diam dan melihat ketika di sekolah. Ketika gurunya (Juf Anna) bicara, baik itu di depan kelas atau bicara personal, Althaf (hanya) mendengar dan melihat bagaimana reaksi temannya. Barangkali begitu caranya belajar, mendengar kata-kata asing dan kemudian menghubungkannya dengan rangkaian gesture/gerak tubuh serta peristiwa yang tampak di depan matanya.
Anak anak belajar bahasa seperti layaknya sebuah spon, dalam diamnya ia menyerap (air) begitu banyak, begitu gurunya membuat perumpamaan seraya memainkan gesture (yang langsung mengingatkan saya pada sosok spongebob yang sedang menyerap air banyak banyak heee).

Mag Niet
Mag niat adalah kata belanda pertama yang di kenal Althaf, sampai sampai dia mengira "mag niet" adalah nama seorang kawan, barangkali karena saking seringnya si kawan tadi mendapat teguran dan ditunjuk "mag niet". Contoh peristiwa "mag niet" yang saya lihat ketika mendampingi Althaf di kelas adalah ketika ia pertama kali datang ke kelas untuk sekadar melihat calon kelasnya, matanya tertuju pada satu rangkaian mainan yang tampak menarik dan bermaksud mengambil. "mag niet" kata Juff Anna diikuti beberapa kata dalam bahasa belanda dan gesture lambaian tangan. Saya menterjemahkannya "oh, tidak boleh", ternyata di bawah mainan tadi ada nama pemilik mainan.
Contoh peristiwa lain yang dialami Althaf dan saya melihatnya adalah ketika ia bermain balok di alas karpet di dalam kelas. "mag niet bla bla bla.." kata Juff Anna yang kemudian sembari melepas sepatu Althaf, Ia berkata bahwa anak anak bisa membawa sepatu ganti untuk dipakaikan di dalam kelas, karena sepatu yang dipakai di luar kelas kerap dipakai bermain di pasir, sehingga pasir masuk ke dalam sepatu dan membuat kotor karpet kelas.
Sejujurnya saya terkejut dengan ringannya kata "mag niet" ini terucap, hanya dua peristiwa di atas yang saya temui, tentunya banyak peristiwa lain sehingga "mag niet" menjadi semacam kata ajaib buat Althaf.
Yang membuat saya semakin terkejut adalah "mag niet" ini berbanding lurus dengan hak anak untuk berpendapat, hak anak untuk terpenuhi keinginannya (sepertinya dengan catatan tidak melanggar aturan dan tidak mengganggu hak orang lain). Ternyata "mag niet"-nya tidak sekaku yang saya pikirkan sebelumnya...Terkait hak-kewajiban, mainan yang ingin diambil Althaf tadi adalah mainan balok balok yang dirangkai menjadi mobil hasil karya salah satu anak, mainan tersebut adalah hak pembuat, dan kewajiban Althaf adalah menghargainya, boleh dilihat tapi tidak boleh diambil, sebuah nilai bagaimana kita menghargai hasil karya orang lain.
Terkait peraturan, sedari dini mereka diajarkan untuk taat pada aturan, bahwa peraturan ada untuk diberlakukan dan diterapkan, untuk melindungi mereka sendiri sebenarnya.
Terkait hak berpendapat dan menyatakan keinginannya, satu waktu keluar dari kelas Althaf menangis keras hanya karena saat keluar dari kelas ia tidak bergandengan tangan dengan Abi. Kebiasaan di akhir kelas, guru akan mengantarkan muridnya dari kelas menuju orangtua masing-masing di luar pagar sekolah, guru akan memastikan setiap anak bertemu dengan orangtuanya, dan akan tetap menggandeng tangan anak hingga orangtua datang. Dalam perjalanan menuju orangtua tersebut, anak anak akan bergandengan berpasangan untuk mempermudah barisan, biasanya pasangannya bergantian, tetapi entah kenapa di hari itu Althaf ingin sekali berpasangan dengan Abi. Tangisan Althaf membuat Juff Anna mendatangi kami dan bertanya apa yang terjadi, "that is important" ujarnya setelah mengetahui duduk perkaranya. Hasilnya, di lain hari ketika Althaf ingin bersama Abi, Ia mendapatnya pasangannya, dan ia gembira. 







Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020! Menulis (lagi)!

Saya, haruskah memperkenalkan diri (lagi)? Setelah sekian lama tak menulis, memulai kembali menulis rasanya seperti malam pertama, deg-deg-an tapi penasaran😳. Meski tak berlangsung lancar di saat pertama, nyatanya selalu terulang lagi, dan lagi, semoga begitu juga dengan menulis. Niatan bertahun-tahun lalu untuk rajin menulis, ternyata tak kunjung terlaksana, tengoklah ke belakang, Banyaknya tulisan yang terpajang di beranda ini, masih bisa dihitung dengan jari saban tahunnya. Sebab apa? Saya, Ibu rumah tangga, haruskah saya memperkenalkan diri (lagi)? Seseorang berkata, menjadi ibu rumah tangga akan membuatmu kehilangan hobi. Oh ya?? Membaca cerpen dan novel, menonton film di layar TV, mendengarkan cerita seorang kawan dan sesekali menulis adalah hal-hal menyenangkan yang biasa saya lakukan di waktu luang di kala saya belum berumah tangga. Kemudian, kesibukan rumah tangga hadir mengisi waktu-waktu yang tersisa di bangku kuliah, hingga kemudian tanpa sadar, dalam satu hari, semu...

Belajar menulis (lagi..lagi..)

 Perempuan itu tampaknya sedang kesulitan menempatkan dirinya, tampaknya sedikit kehilangan arah. Beberapa waktu yang lalu ia begitu menyukai dunia tulis menulis, bahkan sesungguhnya ia sudah memulai blogging barangkali sekitar sepuluh tahun yang lalu. Akan tetapi satu ucapan kecil dari seseorang meruntuhkan dunianya.  Orang itu menyatakan "ngapain nulis kalau cuma untuk dibaca sendiri?" Ya, perempuan itu memang menulis untuk dirinya sendiri, meski ia menuliskannya di platform blogging yang memungkinkan tulisannya untuk dibaca oleh orang lain, tetapi perempuan itu tidak mempublikasikan tulisannya, bahkan ketika kemudian pemakaian media sosial merebak, perempuan itu juga tidak membagikan tulisan-tulisannya lewat media sosial yang ia miliki.  Haruskan seseorang menulis karena tujuan orang lain? Perempuan itu bernama zulfia, dan ia sedang meneguhkan lagi tujuannya menulis. Tak apa jika ia menulis hanya untuk dirinya sendiri, Ia tentu punya cerita, dan tak apa jika ia hanya b...

Bermain banyak-banyak di Taman Bermain yang banyak

Entah, ada berapa banyak taman bermain di tempat kami tinggal, Wageningen, ini. Jumlahnya lumayan banyak untuk sebuah kota kecil, dengan luas 32.36 km persegi, dan dengan jumlah penduduk 38.774 orang (menurut wikipedia, 2019). Barangkali memang menjadi kebijakan pemerintah, di setiap lingkungan perumahan, selalu saja ada tersedia taman bermain anak. Anak-anak menyebutnya "speeltuin", bahasa belanda dari play ground atau taman bermain. Taman-taman tersebut pun beragam, ada yang luas, ada yang sempit, ada yang berpasir, ada yang berair (disediakan pompa air untuk anak-anak bermain air). Jenis mainannya pun beragam, ada yang menyediakan lapangan bola, lapangan basket, arena bermain sepeda, arena bermain sepatu roda, arena jumpalitan🤣 (parkour), area olahraga otot, atau mainan-mainan sekadar selayaknya sebuah taman bermain seperti ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, rumah-rumahan, pasir, air, rumput. Musim semi dan musim panas (seperti sekarang) adalah masanya anak-anak be...