Adakah yang tidak mengikuti pemberitaan di media maya terkait aksi 4 Nov?
Saya rasa semua mengikutinya, bukan hanya yang pro-aksi atau menolak aksi, bahkan yang netral-pun terpaksa turut membaca perang opini di media sosial.
Netral? benarkah? saya contohnya. saya tipe orang yang cenderung diam, jikalau mau saya ber'dalil' ada kok dalilnya:
kenapa akhirnya saya bersuara juga? karena ada yang mengusik saya dengan dalilnya:
Duuuuuuuuuuuuh...ini yang paling membuat saya sakit hatii...
Saya maklum ketika suatu "dalil" dipergunakan sebagai landasan suatu tindakan/pemikiran, bahkan saya maklum ketika dalam satu tema pro-kontra maka masing-masing pihak akan membawa "dalil" pembenar masing-masing. Buat saya, perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan, dan saya menghormatinya.
Tapiiiiiiiiii....ketika dalil dipakai untuk menyerang, terlebih lagi sudah memilih diam kok ya malah dijadikan tujuan serangan, iki cen niate golek musuh!!
Apakah saya terus memusuhinya? Tidak, tidak!! satu musuh sudah terlalu banyak untuk saya, saya sudah punya satu musuh, dan itu cukup, cukup menyita waktu dan energi untuk memikirkannya. (tentang satu musuh saya akan saya ceritakan di lain hari)
Saya netral? saya juga punya pendapat yang barangkali justru di wilayah abu-abu, karena saya tak berada di pihak yang pro aksi tapi saya juga tak sepenuhnya sepakat dengan beberapa pendapat yang menolak aksi.
Saya sepakat dengan pendapat Buya Syafii:
Semua berawal dari pidato Ahok di kepulauan seribu, dan saya sependapat dengan pendapat ini (duh, saya lupa mengambil "screenshoot" dari dinding facebooknya siapa):
Ya, buat saya, Ahok tidak sedang menghina Al-Quran, dia tidak berkata "dibohongi Al Maidah 51", ia berkata "dibohongi pakai Al Maidah 51". Dalam rasa saya, bukan Al-Maidah 51 yang berbohong, melainkan sosok-sosok yang memakai Al Maidah 51 sebagai pembenar. bukan Al Maidah nya yang di sorot Ahok, tapi sosok-sosok yang memakai surat tersebut.
Masalah kemudian meluas, ketika berita-berita disampaikan terpotong-potong simpang siur dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk membakar massa.
ini contoh massa yang terbakar, buat saya, mareka tak menyadari kalau mereka dimanfaatkan, bahkan mereka menolak dimanfaatkan dan menolak bahwa ini perkara politik, karena buat mereka inilah aksi bela Al-Quran.
Saya menghormati pendapat mereka, bahwa kita berbeda tafsir tentang perkataan Ahok, dan saya pun menghargai pilihan mereka untuk berunjukrasa menggalang kekuatan di 4 November, bahkan saya pun kecewa ketika hingga malam tiba Bapak Presiden yang Mulia tak juga hadir menemui.
Presiden tak datang, sehingga ricuh, demo yang berjalan tertib damai sepanjang siang menjadi sedikit rusuh di petang hari, dan masing-masing pihak mencari-cari sosok-sosok provokator di pihak lawan (sayang, saya lupa screenshoot poto wajah terduga provokator baik itu dari pihak HMI berbaju ijo ato dari pihak teman ahok berbaju merah).
Sehingga "salahnya jokowi" pun semakin kuat mengudara, persoalan luas semakin meluas, dari mulai "dia bukan pilihanku" sampai "foto presiden yang ada di kamarku yakni Sukarno dan Gus Dur", sampai "bagaimanapun juga ia presiden kita saat ini, jangan hujat ia yang bisa jadi membubuhkan tanda tangan untuk kita" (lagi-lagi lupa tak terscreenshoot).
Menyikapi simpang-siur pendapat, saya sependapat dengan dua kawan ini:
Sekarang, sudah tanggal 7 Nov, mau di bawa kemana permasalahan ini? biarlah pihak yang berwajib yang mengambil peran, seperti kata Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden.
Dan saya, tak ingin turut mencampurinya meski hanya lewat beranda media sosial.
Saya rasa semua mengikutinya, bukan hanya yang pro-aksi atau menolak aksi, bahkan yang netral-pun terpaksa turut membaca perang opini di media sosial.
Netral? benarkah? saya contohnya. saya tipe orang yang cenderung diam, jikalau mau saya ber'dalil' ada kok dalilnya:
kenapa akhirnya saya bersuara juga? karena ada yang mengusik saya dengan dalilnya:
Duuuuuuuuuuuuh...ini yang paling membuat saya sakit hatii...
Saya maklum ketika suatu "dalil" dipergunakan sebagai landasan suatu tindakan/pemikiran, bahkan saya maklum ketika dalam satu tema pro-kontra maka masing-masing pihak akan membawa "dalil" pembenar masing-masing. Buat saya, perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan, dan saya menghormatinya.
Tapiiiiiiiiii....ketika dalil dipakai untuk menyerang, terlebih lagi sudah memilih diam kok ya malah dijadikan tujuan serangan, iki cen niate golek musuh!!
Apakah saya terus memusuhinya? Tidak, tidak!! satu musuh sudah terlalu banyak untuk saya, saya sudah punya satu musuh, dan itu cukup, cukup menyita waktu dan energi untuk memikirkannya. (tentang satu musuh saya akan saya ceritakan di lain hari)
Saya netral? saya juga punya pendapat yang barangkali justru di wilayah abu-abu, karena saya tak berada di pihak yang pro aksi tapi saya juga tak sepenuhnya sepakat dengan beberapa pendapat yang menolak aksi.
Saya sepakat dengan pendapat Buya Syafii:
Semua berawal dari pidato Ahok di kepulauan seribu, dan saya sependapat dengan pendapat ini (duh, saya lupa mengambil "screenshoot" dari dinding facebooknya siapa):
Ya, buat saya, Ahok tidak sedang menghina Al-Quran, dia tidak berkata "dibohongi Al Maidah 51", ia berkata "dibohongi pakai Al Maidah 51". Dalam rasa saya, bukan Al-Maidah 51 yang berbohong, melainkan sosok-sosok yang memakai Al Maidah 51 sebagai pembenar. bukan Al Maidah nya yang di sorot Ahok, tapi sosok-sosok yang memakai surat tersebut.
Masalah kemudian meluas, ketika berita-berita disampaikan terpotong-potong simpang siur dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk membakar massa.
ini contoh massa yang terbakar, buat saya, mareka tak menyadari kalau mereka dimanfaatkan, bahkan mereka menolak dimanfaatkan dan menolak bahwa ini perkara politik, karena buat mereka inilah aksi bela Al-Quran.
Saya menghormati pendapat mereka, bahwa kita berbeda tafsir tentang perkataan Ahok, dan saya pun menghargai pilihan mereka untuk berunjukrasa menggalang kekuatan di 4 November, bahkan saya pun kecewa ketika hingga malam tiba Bapak Presiden yang Mulia tak juga hadir menemui.
Presiden tak datang, sehingga ricuh, demo yang berjalan tertib damai sepanjang siang menjadi sedikit rusuh di petang hari, dan masing-masing pihak mencari-cari sosok-sosok provokator di pihak lawan (sayang, saya lupa screenshoot poto wajah terduga provokator baik itu dari pihak HMI berbaju ijo ato dari pihak teman ahok berbaju merah).
Sehingga "salahnya jokowi" pun semakin kuat mengudara, persoalan luas semakin meluas, dari mulai "dia bukan pilihanku" sampai "foto presiden yang ada di kamarku yakni Sukarno dan Gus Dur", sampai "bagaimanapun juga ia presiden kita saat ini, jangan hujat ia yang bisa jadi membubuhkan tanda tangan untuk kita" (lagi-lagi lupa tak terscreenshoot).
Menyikapi simpang-siur pendapat, saya sependapat dengan dua kawan ini:
Sekarang, sudah tanggal 7 Nov, mau di bawa kemana permasalahan ini? biarlah pihak yang berwajib yang mengambil peran, seperti kata Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden.
Dan saya, tak ingin turut mencampurinya meski hanya lewat beranda media sosial.
Komentar
Posting Komentar