Catatan Zulfia (4) Kala mengikuti kelas menulis As Laksana
As Laksana menuliskan, sebelum dunia secanggih sekarang, orang-orang menggunakan cerita untuk mengajarkan bagaimana cara menjalani kehidupan. Saya kemudian menemukannya di buku Joseph Cornell tentang seorang naturalis Skotlandia: John Muir, kehidupanku bersama alam, atau Wallace, seorang naturalis dari Inggris, yang memaparkan alam dalam tulisan-tulisannya yang termuat dalam banyak buku. Buku-buku Joseph Cornell atau Wallace tersebut merupakan buku sains yang dituliskan dengan cara naratif, banyak fakta-fakta yang disampaikan dengan gaya bahasa yang indah.
Kemudian, As Laksana melanjutkan, kehidupan semakin maju, gaya menulis naratif semakin ditinggalkan. Barangkali maksud As Laksana adalah ketika buku-buku hanya merupakan kumpulan-kumpulan fakta, tanpa keindahan irama dan tata bahasa penulisannya.
Tapi kemudian, As Laksana melihat orang-orang kembali mempelajarinya saat Harvard Bisniss Revieuw menuliskan "Storytelling that Moves People (2003), di mana orang membicarakan storytelling. Mereka seperti baru tahu bahwa cerita memiliki kekuatan untuk meyakinkan orang.
Saya mencobanya, mencoba menuliskan cerita perjalanan di akhir pekan kemarin. Perjalanan bersepeda bersama kawan-kawan di Wageningen, dari Hollandseweg menuju Panorama Hoeve di Panoramaweg, sejauh 6 km di link ini.
Susah!
Saya sadar, saya baru belajar, tak apa, tidak mudah memang. Fakta-fakta masih tersaji garing, bahkan fakta-fakta ada yang luput untuk disampaikan. Penuh lubang di sana-sini ketika saya membacanya ulang.
Pembaca mungkin mendapatkan sedikit gambaran tentang pancake yang disajikan di Panorama Hoeve, tapi itu lewat foto ala kadarnya. Saya belum bercerita bagaimana pancake asli Belanda melalui tulisan.
***
Pelayan datang, gadis kulit putih, berbaju putih, berwajah manis, dengan celemek coklat muda. Senyumnya terkembang saat menghantarkan kotak pesanan kami. Tiga kotak pancake dan satu kotak poffertjes.
Saya tak ingat berapa lama kami menanti, tapi rasanya tak lama. Entah karena memang ia, pesanan kami, disiapkan dengan cepat, atau karena kami menunggunya sembari berbincang-bincang di tempat terbuka, hanya beratapkan tenda, di udara terbuka yang segar dan hijau. Itu membuat kami tak ingat waktu.
Poffertjes atau kue cubit, kue-kue kecil dari gandum yang sangat digemari Althaf. Ialah yang memintanya. Dimakan bersama gula halus dan olesan mentega, manis dan lembut ketika dikunyah, habis dalam sekejap.
Tiga kotak pancake yang tersaji membuat kami terpana. Meski tipis, ia lebar, selebar jam dinding di rumah kami. Ini pertama kalinya kami menyantap pancake di sebuah rumah makan, di Panorama Hoeve yang terletak di Panoramaweg, Bennekom. Dan tak menyangka kami akan mendapati pancake selebar jam dinding.
Satu pancake original untuk Abah, satu pancake apel untuk ibu, dan satu pancake nanas untuk Huda. Olahan gandum, susu dan sedikit garam yang dipanggang dengan mentega di atas pan panas. Meski tipis, ia sangat mengenyangkan. Hanya pancake original milik Abah yag habis di waktu itu, sisanya, pancake apel dan nanas, kami tutup kembali. bungkus.
Tapi nyatanya, pancake itu ludes sebelum kami pulang, karena, lagi-lagi kami tak ingat waktu. Gerimis yang datang membuat tempat itu semakin nyaman. Anak-anak berlarian di tanah lapang berumput hijau, bermain bola, bermain flying fox, atau pergi ke samping bangunan, ke sebuah peternakan mini yang berisi kambing dan seekor babi gemuk. Tak terasa 4 jam kami habiskan waktu di sana.
***
As Laksana menuliskan, sebelum dunia secanggih sekarang, orang-orang menggunakan cerita untuk mengajarkan bagaimana cara menjalani kehidupan. Saya kemudian menemukannya di buku Joseph Cornell tentang seorang naturalis Skotlandia: John Muir, kehidupanku bersama alam, atau Wallace, seorang naturalis dari Inggris, yang memaparkan alam dalam tulisan-tulisannya yang termuat dalam banyak buku. Buku-buku Joseph Cornell atau Wallace tersebut merupakan buku sains yang dituliskan dengan cara naratif, banyak fakta-fakta yang disampaikan dengan gaya bahasa yang indah.
Kemudian, As Laksana melanjutkan, kehidupan semakin maju, gaya menulis naratif semakin ditinggalkan. Barangkali maksud As Laksana adalah ketika buku-buku hanya merupakan kumpulan-kumpulan fakta, tanpa keindahan irama dan tata bahasa penulisannya.
Tapi kemudian, As Laksana melihat orang-orang kembali mempelajarinya saat Harvard Bisniss Revieuw menuliskan "Storytelling that Moves People (2003), di mana orang membicarakan storytelling. Mereka seperti baru tahu bahwa cerita memiliki kekuatan untuk meyakinkan orang.
Saya mencobanya, mencoba menuliskan cerita perjalanan di akhir pekan kemarin. Perjalanan bersepeda bersama kawan-kawan di Wageningen, dari Hollandseweg menuju Panorama Hoeve di Panoramaweg, sejauh 6 km di link ini.
Susah!
Saya sadar, saya baru belajar, tak apa, tidak mudah memang. Fakta-fakta masih tersaji garing, bahkan fakta-fakta ada yang luput untuk disampaikan. Penuh lubang di sana-sini ketika saya membacanya ulang.
Pembaca mungkin mendapatkan sedikit gambaran tentang pancake yang disajikan di Panorama Hoeve, tapi itu lewat foto ala kadarnya. Saya belum bercerita bagaimana pancake asli Belanda melalui tulisan.
***
Pelayan datang, gadis kulit putih, berbaju putih, berwajah manis, dengan celemek coklat muda. Senyumnya terkembang saat menghantarkan kotak pesanan kami. Tiga kotak pancake dan satu kotak poffertjes.
Saya tak ingat berapa lama kami menanti, tapi rasanya tak lama. Entah karena memang ia, pesanan kami, disiapkan dengan cepat, atau karena kami menunggunya sembari berbincang-bincang di tempat terbuka, hanya beratapkan tenda, di udara terbuka yang segar dan hijau. Itu membuat kami tak ingat waktu.
Poffertjes atau kue cubit, kue-kue kecil dari gandum yang sangat digemari Althaf. Ialah yang memintanya. Dimakan bersama gula halus dan olesan mentega, manis dan lembut ketika dikunyah, habis dalam sekejap.
Tiga kotak pancake yang tersaji membuat kami terpana. Meski tipis, ia lebar, selebar jam dinding di rumah kami. Ini pertama kalinya kami menyantap pancake di sebuah rumah makan, di Panorama Hoeve yang terletak di Panoramaweg, Bennekom. Dan tak menyangka kami akan mendapati pancake selebar jam dinding.
Satu pancake original untuk Abah, satu pancake apel untuk ibu, dan satu pancake nanas untuk Huda. Olahan gandum, susu dan sedikit garam yang dipanggang dengan mentega di atas pan panas. Meski tipis, ia sangat mengenyangkan. Hanya pancake original milik Abah yag habis di waktu itu, sisanya, pancake apel dan nanas, kami tutup kembali. bungkus.
Tapi nyatanya, pancake itu ludes sebelum kami pulang, karena, lagi-lagi kami tak ingat waktu. Gerimis yang datang membuat tempat itu semakin nyaman. Anak-anak berlarian di tanah lapang berumput hijau, bermain bola, bermain flying fox, atau pergi ke samping bangunan, ke sebuah peternakan mini yang berisi kambing dan seekor babi gemuk. Tak terasa 4 jam kami habiskan waktu di sana.
***
Komentar
Posting Komentar