Langsung ke konten utama

Main di Taman, Buat Apa?

 Satu minggu ini anak-anak libur, dan semesta mendukungnya. Cuaca yang cerah dan hangat membuat keceriaan muncul di mana-mana. Taman ramai penuh dengan anak-anak bermain, anak-anak usia 7 tahun ke atas sudah cukup besar untuk bermain sendiri bersama kelompoknya di taman, sedangkan anak-anak balita mengunjungi taman bersama orangtuanya.

Masih di Februari, masih di musim dingin, tetapi suhu sudah beranjak naik semenjak salju berakhir dua pekan lalu, dengan suhu siang hari sekitar 12 derajat celcius hingga 19 derajat celsius. Sebuah kondisi yang ideal untuk bermain di luar ruangan. Dan di akhir februari, saban tahunnya, sesuai kalender sekolah, selalu ada libur selama satu minggu, mereka menyebutnya springbreak (meskipun belum spring, entah kenapa..😄). Sebuah jeda dari belajar di bangku sekolah, tanpa tugas, tanpa PR, hanya untuk bermain dan bermain.

Begitu juga Huda dan Althaf, mereka berdua menyambut liburan ini dengan suka cita, bermain di taman, bersepeda, berkunjung ke rumah kawan, sesekali ikut teman tuk main Nintendo (karena kami tidak punya hehehe).

Dari taman samping rumah itulah, Huda dan Althaf kemudian bertemu dan berkenalan dengan kawan-kawan baru yang ternyata tinggal tak jauh dari rumah. Beberapa nama yang sering disebut saat mereka berdua bercerita adalah Guus, Thomas, Sander, Kurt, Nicolai, dan Yosef. Dan masih banyak teman yang lain yang mereka temui saat bermain bola bersama di taman.

Teman dan Taman, dua hal asyik di masa kanak-kanak.

Berteman merupakan salah satu bagian penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sosial emosional seorang anak. Terlebih ketika mereka berteman tanpa campur tangan orangtua. Mereka akan menjadi pribadi-pribadi tangguh yang telah terbiasa beradaptasi dengan orang-orang baru dengan beragam usia, mulai dari anak dengan usia di bawah usia mereka, hingga orang dewasa seusia orangtua mereka bahkan seusia kakek-nenek mereka. Mereka juga terbiasa berkomunikasi untuk menyampaikan ide dan solusi ketika menghadapi kendala atau masalah dalam permainan.

Ini yang saya lihat ketika mereka berbaur bermain bersama di taman. Ada semacam aturan tak tertulis yang mereka sepakati kala bermain. Siapapun akan mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan permainan itu.  Seperti saat bermain sepakbola, bisa saja anak umur 3 tahun, beserta ayahnya turut serta masuk ke lapangan bola yang saat itu dipakai oleh sekitar 6 anak. Maka serta merta mereka akan mengubah formasinya, entah itu dengan cara mereka (6 anak tersebut) hanya mengambil satu sisi lapangan saja, atau bermain bersama si balita dan ayahnya dengan mengurangi tempo dan kekuatan tendangan mereka, dan sesekali membagi bola pada si balita.
Lain lagi ceritanya ketika lapangan bola sudah penuh sesak hingga tak banyak ruang gerak, maka mereka akan menggilir permainan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, bergantian. Seru bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

God Create World, Dutch...

Empat tahun tinggal di Belanda, membuat saya bisa sedikit mengerti bagaimana Orang-orang Belanda itu... Hangat, to the point tapi juga pintar berbasa-basi (tapi ngga mbulet-mbulet seperti orang jawa 😅), dan karakter yang menonjol adalah pede alias tingkat kepercayaan diri mereka sangat tinggi. Setiba di negara ini, 24 Februari 2016 lalu, segera saya mendengar sesumbar "God Created World, Dutch created the Netherlands". Nether artinya lembah, Netherlands adalah tanah yang rendah. Sekitar 30% daratan Belanda berada di bawah permukaan laut, sebagian hanya sekitar satu meter di atas permukaan laut. Sungai-sungai besar mengalir di negara ini, Sungai Rhine , Sungai Maas , Sungai Ijssel , dan Sungai Scelt , menyebabkan daratan Belanda berada di lembah-lembah sungai. Dengan kondisi geografi yang demikian, Belanda menjadi negara yang sangat rentan terhadap banjir. Tercatat, di tahun 1953, terjadi banjir besar dengan ribuan korban jiwa di Belanda.  Sejak itu, mereka belajar,

Juli - kepanikan mencari sekolah

  Juli, akan selalu mengingatkan saya pada masa-masa liburan sekolah. Dan mulai tahun ini, dan beberapa tahun mendatang, secara berkala, akan menjadi bulan-bulan yang disibukkan dengan kegiatan mencari - mendaftar sekolah untuk anak-anak. Tahun-tahun sebelum ini, setidaknya selama enam tahun ini, bulan Juli menjadi bulan yang paling menyenangkan. Karena di bulan inilah anak-anak memulai libur musim panasnya, sehingga perasaan yang muncul hanyalah senang, senang, dan senaaaang🤣. Nonton film (hampir) setiap hari, naik kereta api berkunjung ke museum, menikmati keramaian kota, menginap di rumah teman, barbeque, atau sekadar berjalan-jalan atau sepedaan menikmati sore di Wageningen dan yang paling menyenangkan adalah tak perlu bangun pagi-pagi 🤣, selama enam minggu. Tapi mulai tahun ini, bulan Juli akan memiliki kisah yang lain, bagi kami sekeluarga. Dan Juli tahun ini adalah Juli peralihan. Sebuah peralihan dari dua budaya pendidikan. Kami akan meninggalkan Belanda sebentar lagi. Bu

obat hectic

 Setelah semua keriuhan pindahan kemarin, ada penghiburan yang datang bertubi-tubi untuk kami, sekeluarga. Tuan rumah yang teramat sangat baik, ramah, hangat, yang menyediakan game 24jam tuk anak-anak; berjumpa dengan beberapa kawan-kawan lama di acara syukuran kawan yang barusaja mendapatkan pekerjaan di kota Praha, dan undangan makan siang di rumah Tante Vero. Mereka semua menyuguhkan makanan-makanan yang lezat yang tak sekadar mengisi perut kami yang kelaparan tapi juga menghangatkan hati kami.  Makanan, dimanapun itu, selalu berhasil menyatukan pribadi-pribadi yang berbeda, selama perut terisi penuh, hati akan pula terisi penuh. Tante Vero, perempuan baik hati yang kami kunjungi hari ini, adalah seorang Indonesia yang menikah dengan pria warga negara belanda. Sejak 2014 ia bersama suaminya membuka usaha warung makan di Wageningen. Radjawali nama warungnya.