Langsung ke konten utama

Mengunjungi Sesepuh di den Haag


Kami berangkat pagi. Bis nomor 86 yang mengantarkan kami pukul 09.07 melaju perlahan menuju stasiun Ede-Wageningen. Satu keluarga dan seorang teman yang lain kami temui di Bis tersebut, kami memang sepakat untuk berangkat bersama.
Dua pilih menit kemudian, pukul 09.23, Bis tiba di Stasiun Ede-Wageningen. Sebuah stasiun yang terletak di antara kota Wageningen dan kota Ede. Sebuah stasiun kecil dengan 4 spoor (jalur kereta), tetapi meski kecil, Stasiun Ede-Wageningen termasuk stasiun yang sibuk, mengingat keberadaan Universitas Wageningen di kota Wageningen.  Kereta-kereta yang berhenti di stasiun Ede-Wageningen inilah yang mengantarkan mahasiswa menunju kampus pertanian tertua di kota Wageningen.
---
Kami segera menuju peron 3, dan menanti kereta ke arah Schippol. Tak seperti di Indonesia, kereta-kereta di Belanda ini tak diberi nama, seperti kereta Lodaya jurusan Jogja-Bandung, atau kereta Argo. Meski masing-masing kereta memiliki nomor seri, tapi kereta-kereta tersebut tidak disebut oleh awam (penumpang) dengan nomor serinya. Para penumpang cukup mengidentifikasi kereta berdasarkan nama kota terakhir yang dituju oleh kereta tersebut. Contohnya kereta yang kami naiki pagi ini. Kami naik kereta arah Schiphol (Train to Schiphol / Train naar Schiphol). Dengan kereta ini, kami perlu berhenti di stasiun Utrecht dan berganti kereta di sana, karena Schiphol memang bukan tujuan akhir kami hari ini.

---

Tujuan akhir kami adalah Den Haag. Kami ingin mengunjungi salah satu tokoh panutan atau sesepuh yang kami hormati di Belanda ini. Beliau sudah tinggal lebih dari 20 tahun di Belanda, dan masih akan tinggal di Belanda di masa-masa yang akan datang mengingat tugas beliau di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia. Kepada beliaulah kami banyak bertanya mengenai hal-hal yang terkait administrasi Ke-Indonesia-an dan juga hal-hal yang terkait dengan bidang keagamaan, karena beliau banyak belajar agama baik itu di pondok semasa di Indonesia atau saat menempuh belajar di Mesir.
Beliau inilah yang "mengasuh" PCI NU Belanda dan menjadi penanggungjawab kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh masjid Al Hikmah Den Haag.
(Ingin mengetahui kedalaman ilmunya? kita bisa mengunjungi laman Youtube PCI NU Belanda atau laman Youtube Masjid Al Hikmah Den Haag).

Lagi-lagi hidangan Indonesia yang menyambut kami. Bakso, ikan bakar, ayam bakar, daging sapi bakar lengkap dengan bumbu kacangnya, gulai daging, mangut makarel, bahkan nasi kebuli. Belum lagi pastel, martabak asin, nastar, kue, sup buah dan buah buahan (strawberry, pisang, jeruk, semangka). Hidangan-hidangan Indonesia memang selalu berhasil menghangatkan suasana.
Bukan hanya dari Wageningen, kami bertemu dengan teman "sepermainan" dari kota lain, Leiden, Amsterdam, Nijmegen. Saya menyebutnya teman sepermainan, karena Bapak-bapaknya memang sering bertemu untuk bermain (membicarakan beberapa agenda terkait organisasi PCINU Belanda), sehingga ibu dan anak-anaknya pun turut serta😁.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

God Create World, Dutch...

Empat tahun tinggal di Belanda, membuat saya bisa sedikit mengerti bagaimana Orang-orang Belanda itu... Hangat, to the point tapi juga pintar berbasa-basi (tapi ngga mbulet-mbulet seperti orang jawa 😅), dan karakter yang menonjol adalah pede alias tingkat kepercayaan diri mereka sangat tinggi. Setiba di negara ini, 24 Februari 2016 lalu, segera saya mendengar sesumbar "God Created World, Dutch created the Netherlands". Nether artinya lembah, Netherlands adalah tanah yang rendah. Sekitar 30% daratan Belanda berada di bawah permukaan laut, sebagian hanya sekitar satu meter di atas permukaan laut. Sungai-sungai besar mengalir di negara ini, Sungai Rhine , Sungai Maas , Sungai Ijssel , dan Sungai Scelt , menyebabkan daratan Belanda berada di lembah-lembah sungai. Dengan kondisi geografi yang demikian, Belanda menjadi negara yang sangat rentan terhadap banjir. Tercatat, di tahun 1953, terjadi banjir besar dengan ribuan korban jiwa di Belanda.  Sejak itu, mereka belajar,

Juli - kepanikan mencari sekolah

  Juli, akan selalu mengingatkan saya pada masa-masa liburan sekolah. Dan mulai tahun ini, dan beberapa tahun mendatang, secara berkala, akan menjadi bulan-bulan yang disibukkan dengan kegiatan mencari - mendaftar sekolah untuk anak-anak. Tahun-tahun sebelum ini, setidaknya selama enam tahun ini, bulan Juli menjadi bulan yang paling menyenangkan. Karena di bulan inilah anak-anak memulai libur musim panasnya, sehingga perasaan yang muncul hanyalah senang, senang, dan senaaaang🤣. Nonton film (hampir) setiap hari, naik kereta api berkunjung ke museum, menikmati keramaian kota, menginap di rumah teman, barbeque, atau sekadar berjalan-jalan atau sepedaan menikmati sore di Wageningen dan yang paling menyenangkan adalah tak perlu bangun pagi-pagi 🤣, selama enam minggu. Tapi mulai tahun ini, bulan Juli akan memiliki kisah yang lain, bagi kami sekeluarga. Dan Juli tahun ini adalah Juli peralihan. Sebuah peralihan dari dua budaya pendidikan. Kami akan meninggalkan Belanda sebentar lagi. Bu

obat hectic

 Setelah semua keriuhan pindahan kemarin, ada penghiburan yang datang bertubi-tubi untuk kami, sekeluarga. Tuan rumah yang teramat sangat baik, ramah, hangat, yang menyediakan game 24jam tuk anak-anak; berjumpa dengan beberapa kawan-kawan lama di acara syukuran kawan yang barusaja mendapatkan pekerjaan di kota Praha, dan undangan makan siang di rumah Tante Vero. Mereka semua menyuguhkan makanan-makanan yang lezat yang tak sekadar mengisi perut kami yang kelaparan tapi juga menghangatkan hati kami.  Makanan, dimanapun itu, selalu berhasil menyatukan pribadi-pribadi yang berbeda, selama perut terisi penuh, hati akan pula terisi penuh. Tante Vero, perempuan baik hati yang kami kunjungi hari ini, adalah seorang Indonesia yang menikah dengan pria warga negara belanda. Sejak 2014 ia bersama suaminya membuka usaha warung makan di Wageningen. Radjawali nama warungnya.