Dua pilih menit kemudian, pukul 09.23, Bis tiba di Stasiun Ede-Wageningen. Sebuah stasiun yang terletak di antara kota Wageningen dan kota Ede. Sebuah stasiun kecil dengan 4 spoor (jalur kereta), tetapi meski kecil, Stasiun Ede-Wageningen termasuk stasiun yang sibuk, mengingat keberadaan Universitas Wageningen di kota Wageningen. Kereta-kereta yang berhenti di stasiun Ede-Wageningen inilah yang mengantarkan mahasiswa menunju kampus pertanian tertua di kota Wageningen.
---
Kami segera menuju peron 3, dan menanti kereta ke arah Schippol. Tak seperti di Indonesia, kereta-kereta di Belanda ini tak diberi nama, seperti kereta Lodaya jurusan Jogja-Bandung, atau kereta Argo. Meski masing-masing kereta memiliki nomor seri, tapi kereta-kereta tersebut tidak disebut oleh awam (penumpang) dengan nomor serinya. Para penumpang cukup mengidentifikasi kereta berdasarkan nama kota terakhir yang dituju oleh kereta tersebut. Contohnya kereta yang kami naiki pagi ini. Kami naik kereta arah Schiphol (Train to Schiphol / Train naar Schiphol). Dengan kereta ini, kami perlu berhenti di stasiun Utrecht dan berganti kereta di sana, karena Schiphol memang bukan tujuan akhir kami hari ini.
---
Tujuan akhir kami adalah Den Haag. Kami ingin mengunjungi salah satu tokoh panutan atau sesepuh yang kami hormati di Belanda ini. Beliau sudah tinggal lebih dari 20 tahun di Belanda, dan masih akan tinggal di Belanda di masa-masa yang akan datang mengingat tugas beliau di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia. Kepada beliaulah kami banyak bertanya mengenai hal-hal yang terkait administrasi Ke-Indonesia-an dan juga hal-hal yang terkait dengan bidang keagamaan, karena beliau banyak belajar agama baik itu di pondok semasa di Indonesia atau saat menempuh belajar di Mesir.
Beliau inilah yang "mengasuh" PCI NU Belanda dan menjadi penanggungjawab kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh masjid Al Hikmah Den Haag.
(Ingin mengetahui kedalaman ilmunya? kita bisa mengunjungi laman Youtube PCI NU Belanda atau laman Youtube Masjid Al Hikmah Den Haag).
Lagi-lagi hidangan Indonesia yang menyambut kami. Bakso, ikan bakar, ayam bakar, daging sapi bakar lengkap dengan bumbu kacangnya, gulai daging, mangut makarel, bahkan nasi kebuli. Belum lagi pastel, martabak asin, nastar, kue, sup buah dan buah buahan (strawberry, pisang, jeruk, semangka). Hidangan-hidangan Indonesia memang selalu berhasil menghangatkan suasana.
Bukan hanya dari Wageningen, kami bertemu dengan teman "sepermainan" dari kota lain, Leiden, Amsterdam, Nijmegen. Saya menyebutnya teman sepermainan, karena Bapak-bapaknya memang sering bertemu untuk bermain (membicarakan beberapa agenda terkait organisasi PCINU Belanda), sehingga ibu dan anak-anaknya pun turut serta😁.
Komentar
Posting Komentar