Langsung ke konten utama

Menulis sebagai Terapi

Hari masih pagi ketika saya membuka laman instagram. Bayi empat belas bulan saya masih tidur, sehingga saya memiliki sedikit waktu untuk diri saya sendiri.

Ada yang menarik (bagi saya) di salah satu postingan di Instagram beberapa hari lalu tapi saya tak sempat membukanya kala itu. Jadilah pagi tadi saya memasang headphone, mendengarkan Instagram live dari akun Cerita Abadi, yang membahas tentang "Menulis untuk kesehatan mental Ibu".
Materi tersebut disampaikan oleh seorang psikolog klinis, Nurindah Fitria. Beberapa waktu terakhir, laman akun Cerita Abadi memang sering menuliskan tentang manfaat menulis untuk para Ibu.

Psikolog tersebut menyampaikan bahwa dari sisi psikologi, menulis merupakan kegiatan yang penting, karena bisa menjadi alat untuk menuangkan isi pikiran kita. Menulis laksana kegiatan merapikan pikiran-pikiran yang ruwet membuat "mumet", menjadi tertata.

Sehingga menulis bisa menjadi bagian dari terapi.
Sebagai tambahan catatan di awal, menulis hanyalah salah satu cara dari sekian banyak cara untuk terapi psikologi.

Hal-hal yang perlu dicermati jikalau menginginkan menulis sebagai sebuah terapi, terutama apabila dilakukan sendiri (tanpa bantuan profesional) adalah:
1. Mengenali "kesalahan" dalam diri kita.
Terapi pada dasarnya adalah sebuah tindakan perbaikan, dari suatu yang buruk menjadi baik, dari suatu yang negatif menjadi positif atau netral. Sehingga mengenali "kesalahan" diri menjadi hal mendasar di awal untuk mengetahui tujuan dari terapi.
Tanpa proses mengenali "kesalahan" kita, tulisan kita hanya akan menjadi sebuah tulisan luapan emosi semata, menjadi hanya semacam diari atau buku harian.
Sebagai contoh ketika kita menginginkan melakukan terapi terhadap emosi kita. Kita perlu lugas menuliskan di awal bahwa "saya marah" kemudian dilanjutkan dengan tulisan mengenai mengapa kita marah, bagaimana kita marah..

2. Selanjutnya, setelah kita berhasil mengenali "kesalahan" kita dan menuangkannya dalam tulisan, kita harus mampu merefleksikannya. Tidak mudah, tapi sebenarnya juga tidak sulit. Kita perlu sejenak mengambil jarak dengan cara memberikan jeda waktu (bisa satu hari, bisa satu minggu, atau satu bulan tergantung masing-masing pribadi) untuk kemudian membaca kembali tulisan kita, dan kemudian menyadari "kesalahan-kesalahan" luapan emosi kita.

3. konsisten, satu hal yang tak kalah penting.

Lalu, apa yang kemudian kita perlukan untuk memulai menulis? Tentu saja alat tulis, pena atau pensil dan buku. Meski di masa sekarang menulis juga bisa dilakukan menggunakan gadget (ms word, google doc, note) tapi akan lebih baik jikalau menulis sebagai terapi ini dilakukan di atas kertas (buku) menggunakan tulisan tangan. Karena dengan cara ini, bukan hanya pikiran kita yang tertata tapi syaraf-syaraf kita juga turut aktif.

Bagaimana kemudian terapi mandiri ini dinyatakan berhasil? Tentu saja ketika tujuan terapi tersebut telah tercapai:)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020! Menulis (lagi)!

Saya, haruskah memperkenalkan diri (lagi)? Setelah sekian lama tak menulis, memulai kembali menulis rasanya seperti malam pertama, deg-deg-an tapi penasaran😳. Meski tak berlangsung lancar di saat pertama, nyatanya selalu terulang lagi, dan lagi, semoga begitu juga dengan menulis. Niatan bertahun-tahun lalu untuk rajin menulis, ternyata tak kunjung terlaksana, tengoklah ke belakang, Banyaknya tulisan yang terpajang di beranda ini, masih bisa dihitung dengan jari saban tahunnya. Sebab apa? Saya, Ibu rumah tangga, haruskah saya memperkenalkan diri (lagi)? Seseorang berkata, menjadi ibu rumah tangga akan membuatmu kehilangan hobi. Oh ya?? Membaca cerpen dan novel, menonton film di layar TV, mendengarkan cerita seorang kawan dan sesekali menulis adalah hal-hal menyenangkan yang biasa saya lakukan di waktu luang di kala saya belum berumah tangga. Kemudian, kesibukan rumah tangga hadir mengisi waktu-waktu yang tersisa di bangku kuliah, hingga kemudian tanpa sadar, dalam satu hari, semu...

Hari gini baru nge-blog.....? (2)

Merujuk lagi ke teorinya Abraham Maslow, seperti yang saya baca di kompas , harga diri adalah perasaan seseorang bahwa dirinya berharga, merefleksikan kebutuhan akan kekuatan untuk berprestasi, berkuasa dan kompeten di bidang tertentu sehingga yakin dalam menghadapi dunia sekelilingnya. Sedangkan aktualisasi diri merupakan realisasi seluruh potensi untuk menjadi kreatif dan bertindak bebas. Kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi diri masing-masing orang tidaklah sama dan perwujudan pemenuhannya pun tidak sama. Bagi saya, blog adalah media yang dapat saya pakai untuk memenuhi kebutuhan saya akan harga diri dan aktualisasi diri. Menurut saya ada 2 hal yang menarik di dunia blogging, yang pertama adalah teknik membuat tampilan fisik blog dan yang kedua teknik membuat materi blog. Ketika hari gini baru mulai nge-blog, saya seharusnya bisa membuat catatan online ini tak hanya sebatas catatan yang di-online-kan, saya seharusnya bisa membuat catatan ini menarik, dari segi tampilan fis...

Bermain banyak-banyak di Taman Bermain yang banyak

Entah, ada berapa banyak taman bermain di tempat kami tinggal, Wageningen, ini. Jumlahnya lumayan banyak untuk sebuah kota kecil, dengan luas 32.36 km persegi, dan dengan jumlah penduduk 38.774 orang (menurut wikipedia, 2019). Barangkali memang menjadi kebijakan pemerintah, di setiap lingkungan perumahan, selalu saja ada tersedia taman bermain anak. Anak-anak menyebutnya "speeltuin", bahasa belanda dari play ground atau taman bermain. Taman-taman tersebut pun beragam, ada yang luas, ada yang sempit, ada yang berpasir, ada yang berair (disediakan pompa air untuk anak-anak bermain air). Jenis mainannya pun beragam, ada yang menyediakan lapangan bola, lapangan basket, arena bermain sepeda, arena bermain sepatu roda, arena jumpalitan🤣 (parkour), area olahraga otot, atau mainan-mainan sekadar selayaknya sebuah taman bermain seperti ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, rumah-rumahan, pasir, air, rumput. Musim semi dan musim panas (seperti sekarang) adalah masanya anak-anak be...