Langsung ke konten utama

Mengunjungi Gereja Tua di Koln

Koln menjadi kota tujuan kami.

Kota besar keempat di Jerman yang terletak tak begitu jauh dari perbatasan Belanda, sehingga bisa terjangkau dalam sehari perjalanan pulang pergi.
Karena itulah kami berangkat pagi-pagi.

Pukul 06.44 kami sudah tiba di halte Bis Hoevestein, menanti bis C3 yang akan mengantarkan kami ke stasiun terdekat, stasiun Ede - Wageningen. Begitu tiba di stasiun, kami segera menuju peron 3, naik kereta ke arah Arnhem. Dari kota Arnhem inilah kami kemudian menaiki kereta Abelio menuju Jerman.
Kereta sudah hampir terisi penuh saat kami naik, beruntung kami mendapati tempat kosong dengan kursi lipat yang berisi barang-barang milik penumpang di kursi sebelah. Tampaknya mereka sekelompok anggota pramuka, tampak dari jaket cokelat muda yang mereka kenakan. Segera, setelah kami mendekat dan melihat kami membawa bayi, mereka mengambil barang-barang mereka dan meletakkannya di tempat tas, di atas kepala mereka.
Kereta penuh sesak dengan segera, sepertinya banyak warga negara belanda yang menjadikan Jerman sebagai salah satu tujuan liburan mereka (tentu saja, murah!) dan sebaliknya, kereta arah Belanda dari Jerman pagi itu tampak lenggang.

Kami tiba di Koln sekitar pukul 10.30. Gereja Koln yang ikonik segera menyambut kami begitu keluar dari stasiun Koln. Laksana magnet, gereja ini menarik wisatawan-wisatawan baik itu wisatawan dari lokal jerman ataupun negara tetangga seputar eropa dan juga asia-afrika. Beragam orang, dengan beragam warna datang memgunjungi Gereja ini. Ada buanyuak orang di sana, dan hampir semuanya sibuk dengan kamera masing-masing, mengambil gambar, mengabadikan setiap gerak mereka di sana. Begitu juga kami😄. Kami mengelilingi semua sisi gereja, dan berhenti mengambil gambar di salah satu sisi Gereja yang mengarah ke pusat kota. Tempat inilah yang paling ramai.

Gereja Koln merupakan Gereja Katolik tua yang dibangun tahun 1200an dengan arsitektur bergaya gothik. Sebuah gaya arsitektur yang populer di abad 12 - 16. Menara kembar yang dimiliki Gereja ini membuat bangunan ini tampak sangat megah. Tercatat, Gereja ini memiliki menara kembar tertinggi di dunia yaitu setinggi 157 meter. UNESCO juga telah menetapkan Gereja tua yang masih aktif ini sebagai situs warisan dunia sejak tahun 1996.


Gambar-gambar gereja Koln bisa didapatkan di google dengan kata kunci Cathedral Cologne. Cologne adalah sebutan kota tersebut dalam Bahasa Inggris, Koln dalam Bahasa Belanda.

Tujuan pertama kami (setelah gereja tentu saja) adalah "Tourist Information" yang terletak tak jauh dari gereja. Dari sini kami bisa mendapatkan gambaran singkat mengenai tempat-tempat yang bisa kami kunjungi di Koln dan tentu saja petugas di sana membekali kami dengan secarik peta Koln, lengkap dengan jalur tram yang melintasi kota.

Kemana kami kemudian?
Besok yaaaa....😁

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020! Menulis (lagi)!

Saya, haruskah memperkenalkan diri (lagi)? Setelah sekian lama tak menulis, memulai kembali menulis rasanya seperti malam pertama, deg-deg-an tapi penasaran😳. Meski tak berlangsung lancar di saat pertama, nyatanya selalu terulang lagi, dan lagi, semoga begitu juga dengan menulis. Niatan bertahun-tahun lalu untuk rajin menulis, ternyata tak kunjung terlaksana, tengoklah ke belakang, Banyaknya tulisan yang terpajang di beranda ini, masih bisa dihitung dengan jari saban tahunnya. Sebab apa? Saya, Ibu rumah tangga, haruskah saya memperkenalkan diri (lagi)? Seseorang berkata, menjadi ibu rumah tangga akan membuatmu kehilangan hobi. Oh ya?? Membaca cerpen dan novel, menonton film di layar TV, mendengarkan cerita seorang kawan dan sesekali menulis adalah hal-hal menyenangkan yang biasa saya lakukan di waktu luang di kala saya belum berumah tangga. Kemudian, kesibukan rumah tangga hadir mengisi waktu-waktu yang tersisa di bangku kuliah, hingga kemudian tanpa sadar, dalam satu hari, semu...

Tentang Alam di Februari

Februari, dalam ingatan pendek saya, beberapa tahun lalu, dan sekarang, selalu membawa cerita alam yang tak menyenangkan. Setidaknya di beberapa tempat yang pernah saya tinggali. Di Belanda, dua tahun lalu, februari 2018, angin dingin dari Siberia berhembus melewati daratan eropa, suhu terendah di Belanda tercatat hingga -20 C, kolam-kolam membeku, binatang-binatang kecil banyak ditemukan mati. Satu minggu penuh satu keluarga tinggal di rumah, sakit, maklum tubuh tropis tak mampu beradaptasi dengan perubahan cuaca yang cukup ekstrim. Begitu juga februari tahun ini, 2020. Bukan angin dingin yang datang, tapi badai. Tak tanggung-tanggung, 3 badai silih berganti berdatangan di akhir minggu, meski imbasnya senin-selasa-rabu kecepatan angin masih tetap tinggi. Tiga badai dengan nama yang amat cantik, Ciara, danish, dan Elena. *katanya, badai memang selalu diberi nama-nama yang cantik, nama-nama perempuan, karena laksana perempuan yang marah, ia kan mengamuk seolah hilang akal. (Begitu...

obat hectic

 Setelah semua keriuhan pindahan kemarin, ada penghiburan yang datang bertubi-tubi untuk kami, sekeluarga. Tuan rumah yang teramat sangat baik, ramah, hangat, yang menyediakan game 24jam tuk anak-anak; berjumpa dengan beberapa kawan-kawan lama di acara syukuran kawan yang barusaja mendapatkan pekerjaan di kota Praha, dan undangan makan siang di rumah Tante Vero. Mereka semua menyuguhkan makanan-makanan yang lezat yang tak sekadar mengisi perut kami yang kelaparan tapi juga menghangatkan hati kami.  Makanan, dimanapun itu, selalu berhasil menyatukan pribadi-pribadi yang berbeda, selama perut terisi penuh, hati akan pula terisi penuh. Tante Vero, perempuan baik hati yang kami kunjungi hari ini, adalah seorang Indonesia yang menikah dengan pria warga negara belanda. Sejak 2014 ia bersama suaminya membuka usaha warung makan di Wageningen. Radjawali nama warungnya.