Langsung ke konten utama

Resep Dokter di mata Dokter Hendrawan Nadesul


Pagi ini, sembari menyusui Ashfa, saat membuka-buka laman facebook, mata saya tertuju pada satu postingan kawan yang membagikan tulisan seorang dokter. Nama dokter tersebut tampak tak asing, meski saya lupa-lupa ingat di mana saya pernah mengenal namanya. Bisa jadi di salah satu laman koran langganan almarhum kakek saya bertahun-tahun lalu. Kedaulatan Rakyat, sebuah koran kebanggaan warga Jogja.

Hendrawal Nadesul, nama dokter tersebut. Beliau menulis dengan ringan sebuah topik yang sekarang tampak normal tapi sesungguhnya berlebihan. Tentang resep dokter. Tulisannya bisa jadi sesungguhnya ditujukan untuk rekan-rekan seprofesinya, para dokter. Tapi kitapun, para pasien (siapa yang belum pernah menjadi pasien? rasanya, setiap kita adalah pasien😅) bisa belajar banyak dari tulisan ringan Dokter Hendrawan Nadesul tersebut.
Adalah Prof Iwan Darwansjah yang mengajarkan kepada Dokter Hendrawan Nadesul, semasa kuliah, bagaimana menuliskan sebuah resep. Dokter perlu bijak dan arif untuk hal ini.

Seringkali keluhan keluhan yang disampaikan oleh pasien (ya kita-kita ini) sesungguhnya tidak memerlukan obat untuk diresepkan. Sebagian besar keluhan sebenarnya disebabkan karena kekeliruan memilih gaya hidup.
Hipertensi ringan, gula darah tinggi, pusing, pegal-pegal belum tentu memerlukan obat. Yang diperlukan terkadang "hanyalah" perbaikan gaya hidupnya. Kurangi konsumsi garam, kurangi konsumsi gula, perbanyak aktivitas fisik, giatkan olahraga, minum air putih. Sudahkah itu dijalankan dengan benar?

Resep yang bijak menurut Prof Iwan Darwansjah justru adalah resep yang sependek mungkin, semurah mungkin disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien.
Fenomena yang terjadi saat ini di Indonesia adalah dokter memberikan resep berderet-deret untuk masing-masing keluhan yang dirasakan oleh pasien, bahkan seringkali memberikan resep berlebih dengan dosis tinggi. Sementara di sisi yang lain, di pihak pasien pun, menginginkan agar sesegera mungkin keluhan-keluhan yang dirasakan lenyap, semakin cepat semakin tokcerr. Padahal dibalik obat-obat kimiawi tersebut terdapat risiko yang dibebankan pada ginjal pasien selain tentu saja beban keuangan yang memberatkan kantong.

---
Apa yang disampaikan Dokter Hendrawan Nadesul tersebut sejalan dengan yang dijalankan oleh Dokter-dokter di Belanda tempat kami tinggal saat ini. Bahkan seingat saya, selama kami sekeluarga berobat ke dokter belum pernah diberikan resep untuk ditebus di apotik kecuali satu obat/suplemen untuk meningkatkan kadar besi. Pemberian suplemen inipun setelah melewati tahap laboratorium cek darah, tidak hanya didasarkan pada keluhan-keluhan yang saya sampaikan sebagai pasien kala itu.
Sedangkan sakit semacam demam, batuk, pilek, cacar, hanya akan didengarkan keluhannya oleh dokter, diperiksa stetoskop sebentar dan disarankan untuk perbanyak istirahat, perbanyak tidur, perbanyak minum, dan konsumsi buah dan sayur. Tanpa ada satu baris resep yang diberikan.
Corona beberapa waktu lalu? Tanpa komplikasi dengan penyakit lain semacam jantung, diabetes ataupun penyakit berat yang lain, dokter hanya akan menyarankan untuk istirahat di rumah, jauhi kontak fisik dengan orang sekitar dan makan makanan sehat. Hanya diperlukan waktu (sekitar satu minggu) untuk kesembuhannya.

---

Barangkali karena itulah Dokter Hendrawan Nadesul menulis secara terbuka dengan bahasa sederhana. Beliau bisa mengingatkan rekan-rekan seprofesinya sekaligus juga memberikan pengetahuan kepada pasien mengenai perlu dan tidaknya obat untuk diresepkan.
Anda tipe pasien yang mana?


Nb: tulisan lengkap dokter Hendrawan Nadesul bisa dilihat di laman facebooknya beliau yaa🤗

Komentar

Postingan populer dari blog ini

God Create World, Dutch...

Empat tahun tinggal di Belanda, membuat saya bisa sedikit mengerti bagaimana Orang-orang Belanda itu... Hangat, to the point tapi juga pintar berbasa-basi (tapi ngga mbulet-mbulet seperti orang jawa 😅), dan karakter yang menonjol adalah pede alias tingkat kepercayaan diri mereka sangat tinggi. Setiba di negara ini, 24 Februari 2016 lalu, segera saya mendengar sesumbar "God Created World, Dutch created the Netherlands". Nether artinya lembah, Netherlands adalah tanah yang rendah. Sekitar 30% daratan Belanda berada di bawah permukaan laut, sebagian hanya sekitar satu meter di atas permukaan laut. Sungai-sungai besar mengalir di negara ini, Sungai Rhine , Sungai Maas , Sungai Ijssel , dan Sungai Scelt , menyebabkan daratan Belanda berada di lembah-lembah sungai. Dengan kondisi geografi yang demikian, Belanda menjadi negara yang sangat rentan terhadap banjir. Tercatat, di tahun 1953, terjadi banjir besar dengan ribuan korban jiwa di Belanda.  Sejak itu, mereka belajar,

Juli - kepanikan mencari sekolah

  Juli, akan selalu mengingatkan saya pada masa-masa liburan sekolah. Dan mulai tahun ini, dan beberapa tahun mendatang, secara berkala, akan menjadi bulan-bulan yang disibukkan dengan kegiatan mencari - mendaftar sekolah untuk anak-anak. Tahun-tahun sebelum ini, setidaknya selama enam tahun ini, bulan Juli menjadi bulan yang paling menyenangkan. Karena di bulan inilah anak-anak memulai libur musim panasnya, sehingga perasaan yang muncul hanyalah senang, senang, dan senaaaang🤣. Nonton film (hampir) setiap hari, naik kereta api berkunjung ke museum, menikmati keramaian kota, menginap di rumah teman, barbeque, atau sekadar berjalan-jalan atau sepedaan menikmati sore di Wageningen dan yang paling menyenangkan adalah tak perlu bangun pagi-pagi 🤣, selama enam minggu. Tapi mulai tahun ini, bulan Juli akan memiliki kisah yang lain, bagi kami sekeluarga. Dan Juli tahun ini adalah Juli peralihan. Sebuah peralihan dari dua budaya pendidikan. Kami akan meninggalkan Belanda sebentar lagi. Bu

obat hectic

 Setelah semua keriuhan pindahan kemarin, ada penghiburan yang datang bertubi-tubi untuk kami, sekeluarga. Tuan rumah yang teramat sangat baik, ramah, hangat, yang menyediakan game 24jam tuk anak-anak; berjumpa dengan beberapa kawan-kawan lama di acara syukuran kawan yang barusaja mendapatkan pekerjaan di kota Praha, dan undangan makan siang di rumah Tante Vero. Mereka semua menyuguhkan makanan-makanan yang lezat yang tak sekadar mengisi perut kami yang kelaparan tapi juga menghangatkan hati kami.  Makanan, dimanapun itu, selalu berhasil menyatukan pribadi-pribadi yang berbeda, selama perut terisi penuh, hati akan pula terisi penuh. Tante Vero, perempuan baik hati yang kami kunjungi hari ini, adalah seorang Indonesia yang menikah dengan pria warga negara belanda. Sejak 2014 ia bersama suaminya membuka usaha warung makan di Wageningen. Radjawali nama warungnya.